Biro Maritim Internasional, IMB, mengatakan serangan bajak laut atas kapal-kapal di dunia berada pada titik terendah, tapi satu perairan di kawasan Asia Tenggara yang tidak konsisten dengan tren tersebut, kata pakar keamanan maritim Swee Lean Collin Koh.
Kapal-kapal yang berlayar di kawasan perairan Filipina mendapat kawalan dari Angkatan Laut Filipina.
Serangan bajak laut, penculikan serta pembayaran uang tebusan di perairan lepas pantai Somalia sempat mendominasi pemberitaan di media-media seluruh dunia.
Pada tahun 2011 -yang merupakan puncak krisis penculikan- tercatat 237 insiden bajak laut yang dilaporkan terjadi di kawasan lepas pantai Somalia.
Bagaimanapun, sejak saat itu aksi pembajakan turun secara signifikan di lepas pantai Afrika, meski baru-baru ini terjadi serangan perompak terhadap sebuah kapal tanker berbendera Komoro dan satu kejadian yang dilaporkan pada kuartal ketiga tahun lalu.
Sementara itu di Asia, serangan bajak laut dan insiden perompakan, termasuk kasus penyedotan bahan bakar minyak, berkurang separuh di tahun 2015-2016, karena langkah-langkah yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pemerintah dan pihak perusahaan kapal.
Tapi ada satu bentangan kecil perairan di Asia Tenggara yang berpotensi menjadi salah satu kawasan yang paling berisiko di dunia maritim.
Hak atas fotoWESMINCOM
Image captionKelompok militan Abu Sayyaf menculik dan membunuh para pelaut, termasuk kapal yang terombang-ambing di Laut Sulu.
Hanya sedikit orang yang pernah mendengar soal kawasan yang masih jarang menjadi berita utama, jika dibandingkan dengan Selat Malaka. Namun Laut Sulu-Sulawesi, yang mencakup perairan sekitar Indonesia, di bagian timur Sabah, Malaysia dan Filipina, menjadi kawasan yang mengkhawatirkan.
Sejak bulan Maret 2016, serentetan peristiwa penculikan dengan permintaan uang tebusan dilaporkan terjadi di sana dan di perairan timur Sabah.
Serangan-serangan yang terjadi di sana seringkali dikaitkan dengan kelompok militan Abu Sayyaf yang beroperasi di bagian selatan Filipina, meskipun beberapa insiden perompakan tampaknya dilakukan oleh kelompok-kelompok kriminal biasa.
Moratorium pengiriman batu bara
Yang mengkhawatirkan adalah modus operandi mereka yang terus berkembang.
Awalnya, mereka menyasar kapal-kapal yang bergerak lambat, seperti kapal tunda (biasanya penarik tongkang yang sarat dengan muatan batubara yang berlayar dari Indonesia ke Filipina selatan) dan kapal-kapal pukat ikan.
Namun, mereka kini menjadi semakin berani dengan berupaya menyerang kapal-kapal besar di kawasan tersebut.
Di antaranya adalah, kapal bermuatan berat berbendera Korea Selatan yang diserang di perairan Filipina selatan pada Oktober 2016.
Image captionDengan ribuan pulau dan jalur pelayaran yang sibuk, wilayah ini menjadi sasaran empuk para perompak untuk menjarah muatan kapal.
Indonesia, Malaysia dan Filipina telah mengadakan serangkaian pertemuan tingkat tinggi dan mengeluarkan pernyataan bersama soal keamanan di Laut Sulu dalam kesepakatan yang disebut Trilateral Co-operative Arrangement (TCA).
Ada empat hal yang telah disepakati oleh tiga menteri luar negeri dalam kesepakatan yang dibuat pada Mei 2016, namun sejauh ini belum ada kemajuan berarti seperti yang diharapkan, meski sudah ada patroli bersama di Selat Malaka.
Pemerintah Indonesia yang memprakarsai proposal ini dan terus mendorong pelaksanaan kesepakatan TCA, mengingat banyaknya orang-orang Indonesia yang menjadi korban penculikan dengan meminta uang tebusan.
Tapi kekecewaan Indonesia atas lambannya perkembangan dari kesepakatan membuat pemerintah Jakarta memberlakukan moratorium pengiriman batubara ke Filipina. Moratorium ini akan diperpanjang ‘sampai ada jaminan keamanan dari pemerintah Filipina’.
Kedua negara lantas membuat kesepakatan -berdasarkan pakta perbatasan 1975- yang memungkinkan militer Indonesia melakukan ‘pengejaran’ ke wilayah Filipina.
Pernyataan bersama ini ditindaklanjuti dengan mengupayakan berbagai langkah seperti patroli laut yang terkoordinasi dan mengupayakan keselamatan kapal-kapal yang melintas di perairan Laut Sulu- Sulawesi lewat koridor transit yang aman.
Ancaman yang muncul dari kelompok yang menamakan diri sebagai Negara Islam (ISIS) membuat tiga negara bergerak cepat membuat kesepakatan untuk mendirikan pos komando di Bongao di Filipina, Tawau di Malaysia dan Tarakan di Indonesia.
Patroli laut bersama
Penyelesaian sementara dilakukan oleh ketiga negara itu. Contohnya, Indonesia dan Filipina telah menerapkan patroli laut bersama yang berlangsung dua kali setahun.
Setelah terjadi serangkaian serangan terhadap kapal penangkap ikan Malaysia Timur yang diawaki oleh orang Indonesia akhir tahun lalu, pemerintah Indonesia meminta jaminan keamanan dari pemerintah negara bagian Sabah untuk melindungi sekitar 6.000 awak kapal Indonesia yang bekerja di perairan Malaysia.
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, pun turut berkomentar soal lambannya kemajuan dalam TCA dan mengatakan, “Malaysia, Indonesia dan Filipina (harus) membicarakan hal ini secara tuntas, untuk menghasilkan solusi.”
“Ada kebutuhan bagi kita…untuk membicarakan hal ini dengan serius dan menghentikannya karena bagaimanapun serangan ini telah melumpuhkan perdagangan di kawasan tersebut,” tambahnya.
Kapal-kapal internasional telah menghindari Wilayah Otonomi Muslim di Mindanao akibat berbagai serangan tersebut, padahal wilayah Filipina tersebut sangat membutuhkan investasi asing.
Pada bulan Desember, pasukan keamanan Malaysia terlibat kontak senjata untuk pertama kalinya dengan kelompok bersenjata Filipina di perairan Semporna, yang menewaskan tiga orang sementara tiga orang lainnya tertangkap.
Sepertinya insiden ini menjadi pemicu, karena pada akhir bulan itu, Malaysia kemudian menyatakan bahwa mereka dalam tahap akhir diskusi dengan pemerintah Indonesia dan Filipina.
Perlu komitmen
Namun, beberapa serangan baru pada 2017 ini -yang terjadi pada kapal penangkap ikan asal Sabah dan Vietnam- menunjukkan bahwa tindakan lebih lanjut mendesak diperlukan jadi bukan semata pembicaraan.
Filipina meminta Cina dan Amerika Serikat untuk berpartisipasi dalam keamanan maritim di perairan internasional di kawasan tersebut.
Pada bulan Maret, Indonesia, Malaysia dan Filipina akhirnya sepakat untuk mulai berpatroli di wilayah tempat kapal-kapal melintas yang membuat para pengusaha kapal bisa menarik napas lega.
Hak atas fotoAFP
Image captionSejumlah negara di kawasan ini sudah lama melakukan kerjasama militer dalam mengatasi masalah pembajakan di laut, namun belum bisa menuntaskan masalah yang ada.
Meski begitu, agar kesepakatan soal keamanan maritim ini bisa berjalan dengan baik, maka tiga negara tersebut harus bisa mempertahankan komitmen mereka dan mengesampingkan kepentingan politik – eperti isu pengakuan kedaulatan antara Malaysia dan Filipina soal Sabah.
Presiden Duterte sudah menegaskan bahwa pemerintahannya ‘akan mempertahankan klaim mereka’.
Jika kesepakatan TCA ini berhasil maka Indonesia, Malaysia dan Filipina bukan hanya membuktikan kepada masyarakat internasional bahwa Laut Sulu Sulawesi bukanlah ‘Somalia baru’, tetapi juga menunjukkan kemampuan dalam menyelesaikan kepentingan politik dan diplomatik untuk menyatukan kekuatan dalam menghadapi ancaman bersama. (bbc.com/hp