Umar bin Khattab merupakan pemimpin (amirul mu`minin) yang kedua, yakni setelah Abu Bakar ash-Shiddiq. Sahabat Nabi SAW yang bergelar al-Faruq itu tercatat dalam sejarah sebagai seorang khalifah yang tegas, cerdas, dan adil.
Dalam mengadili suatu kasus, ia selalu berupaya memahami terlebih dahulu konteks peristiwanya. Hal itu tercermin dalam kisah sebagai berikut.
Suatu hari, beberapa pembantu Hatib bin Abi Balta’ah ketahuan mencuri seekor unta milik seorang pria asal Muzainah. Seorang warga setempat lantas membawa para pencuri yang tertangkap basah itu kepada Khalifah Umar.
Sang amirul mukminin lantas menggelar sidang untuk mengadili perkara tersebut. Umar lantas mengetahui, mereka melakukan perbuatan buruk itu karena terpaksa. Sebab, mereka sudah kelaparan dan tak tahu lagi harus berbuat apa.
Umar bahkan mengimbau Abdurrahman bin Hatib agar membayar dua kali lipat harga unta yang dimiliki orang Muzainah itu. Dengan demikian, status unta tadi menjadi halal--yakni tak lagi sebagai barang curian.
"Sebab, Hatib yang telah berbuat demikian sehingga mereka terpaksa mencuri. Mereka dalam kondisi kelaparan dan perbuatan ini dilakukannya hanya sekadar bertahan hidup," kata Umar.
Kebijakan Umar ini bukan tanpa didasari nash. Ia justru mengambil petunjuk dari Alquran. Yakni, surah al-Baqarah ayat 173. Artinya, “…jika dalam keadaan terpaksa bukan sengaja hendak melanggar atau mau melampaui batas maka tidaklah ia berdosa. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.”
Pernah dalam masa pemerintahannya, kaum Muslimin diuji dengan wabah dan kelaparan. Gagal panen melanda sebagian provinsi sehingga orang-orang kesulitan hanya untuk mengganjal perut lapar. Maka, Umar pun tidak menerapkan hukuman potong tangan bagi pencuri, yakni mereka yang mencuri hanya untuk bertahan hidup. Pada saat yang sama, Umar membuka Bait al-Maal untuk menyalurkan bantuan kepada warga yang membutuhkan.,