Mendengar kabar ada petrus,preman tebirit-birit sembunyi | KORAN LINGGAU.COMhttp://koranlinggau.com/

21 April 2017

Mendengar kabar ada petrus,preman tebirit-birit sembunyi



Suatu pagi di awal 80an, pinggiran jalan Sudirman kota Semarang orang ramai berkumpul. Ternyata ditemukan tergeletak begitu saja, sebuah karung goni tak terikat, berisikan manusia telanjang dada.

Ya, manusia. Dia mati tentunya. Tubuhnya bertato. Seketika warga tahu, wajah ini milik preman lokal yang meresahkan warga. Namun yang jadi cerita adalah, ia bukan manusia-karung pertama. Sebelumnya, sudah sekian mayat preman ditemukan. Sebagian berkarung goni, sebagian telentang begitu saja. Kesamaannya dua: sama-sama preman, sama-sama tak bernyawa. Ada yang punya luka tembak, ada yang hanya bekas-bekas ikatan. Masyarakat juga tahu, ini ulah siapa: Petrus (penembak-an misterius).

Petrus adalah satuan ABRI yang ditugaskan Soeharto memberantas kejahatan jalanan semacam Bromocorah, Gabungan Anak Liar (Gali), preman dsb. Petrus muncul sebagai gerombolan orang tak dikenal yang suka muncul tiba-tiba. Membawa mobil dan menculik preman yang sudah dikenali, untuk besok atau lusanya dilepaskan dalam karung goni, tak bernyawa. Petrus menghabisi para preman ini tanpa proses peradilan. Kalau tidak ditembak, para preman akan dijerat tali sampai mati.

Pasalnya, Soeharto mendengar hal yang sama soal preman sebagaimana kabar yang beredar dan peristiwa yang sudah terjadi. Preman saat itu merampok, mencuri hingga (kabarnya) memperkosa korbannya.

“Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan saja? Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan ya, mau tidak mau ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak,” kata Soeharto dalam buku biografinya yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana.

Lalu untuk shock theraphy, sengaja mayatnya dibuang agar jadi tontonan dan membuat preman lain keder.

“Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan ini dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas kemanusiaan itu,” beber Soeharto.

Niat Soeharto berhasil, preman gemetar dibuatnya.

Ada kisah Bathi Mulyono, seorang ayah yang meninggalkan anaknya bertahun-tahun, sembunyi di hutan gunung Lawu menghindari Petrus. Sebab ia adalah pimpinan Fajar Me­nying­sing, organisasi eks Bromocorah yang eksis di Jawa Tengah sebelum ramai soal Petrus.

Putrinya yang seorang penyanyi, Lita BM, bahkan sampai merilis album khusus untuk menggambarkan ketakutan dan kecemasannya semasa sang ayah hilang. “Harapanku, apa yang terjadi padaku tidak terjadi pada orang lain. Jujur saja, sangat menyakitkan. Aku hanya bisa sampaikan lewat lagu apa yang aku rasakan sejak kecil,” tutur Lita.

Launchingnya pun bukan di cafe, tapi di atas panggung orasi yang diprakarsai KontraS dalam demontrasi para korban kemanusiaan kejahatan rezim Orde Baru.

Lain lagi cerita Wagiman seorang tukang copet terminal. Ia yang saat itu berusia 18 tahun, sampai lari ke desa-desa di Riau selama empat tahun sebelum kembali lagi ke Jawa Tengah.

Komnas HAM mencatat ada 2.000 korban selama Petrus gentayangan. Sumber lain menyebut korban Petrus mencapai 10.000 orang.

Aksi Petrus menuai pro dan kontra. Ada yang fokus terhadap pesan kepada pelaku kejahatan lain, ada yang menitik-beratkan moral, etika, dan hak sosial.

Jajaran tentara merasa tidak perlu mempermasalahkan soal kematian misterius, karena yang dituju adalah keselamatan dan keamanan 150 juta rakyat Indonesia saat itu.

“Penjahat mati misterius tidak perlu dipersoalkan,” kata Kepala BAKIN Yoga Sugama selesai melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha. Diungkapkan adanya surat Amnesti Internasional, yang katanya mempersoalkan ini-itu, termasuk penjahat terbunuh di Indonesia. “Ini merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan,” tambahnya. (Berita Harian Gala, 25 Juli 1983).

Namun jelas tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan petrus adalah pelanggaran HAM berat.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution SH menyatakan, jika usaha pemberantasan kejahatan dilakukan hanya dengan main tembak tanpa melalui proses pengadilan maka hal itu tidak menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan. Padahal kedua masalah tersebut merupakan tuntutan hakiki yang diperjuangkan orang sejak zaman Romawi Kuno. Jika cara-cara seperti itu terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan dibubarkan saja. (Sinar Harapan, 6 Mei 1983).

“Sekalipun mereka penjahat, namun sebagai manusia berhak mendapat keadilan melalui lembaga peradilan. Dan menembak ditempat, walaupun oleh petugas Negara, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan,” kata Ketua Yayasan LBH (Sinar Harapan, 14 Mei 1983).

Jika sekarang muncul tuntutan pertanggung jawaban atas tragedi Petrus, siapa yang harus bertanggung jawab? “Jadi menurut saya, tidak ada prajurit yang salah. Semua tanggung jawab di pundak pimpinan. Siapa? Soeharto! Itu sesuai pengakuannya dalam buku biografi berjudul Soeharto, hasil wawancara Ramadhan KH dan G Dwipayana,” tegas Bathi Mulyono yang tak ada  satu pun tato di tubuhnya.,sumber sejarah indonesia.